Pancasilaholic

PANCASILAHOLIC. Secara bahasa, penulis tidak sedang membuat istilah baru atas diskursus ke-Pancasila-an yang akhir-akhir ini (kembali) menguat di ruang publik. Akan tetapi, penulis merasa perlu mengapresiasi para pegiat, pejuang, atau apapun istilahnya bagi mereka yang mendedikasikan pikiran, waktu, dan tenaganya demi Pancasila. Tidak bisa dipungkiri, realitas sosial tersebut menjadi keniscayaan dalam perspektif penguatan ideologi di tengah-tengah gempuran gagasan de-ideologisasi Pancasila.

Narasi ideologis atas Pancasila pada akhirnya perlu diakarkan kembali dengan mengedepankan literasi pada aspek substansinya dan tidak terjebak pada framing simbolis ansich. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian mencuat istilah radikalisasi Pancasila dalam alam pikiran yang positif. Pada titik ini, para Pancasilaholic, atau dalam pemahaman yang lebih sederhana para pegiat, penjaga, pejuang, dan penguri-uri Pancasila mampu mengejawantahkan kelima sila dalam Pancasila dalam suatu nalar berpikir dan tindak tanduk yang humanis. Dalam artian Pancasila benar-benar hadir sebagai jawaban atas segenap persoalan, utamanya menyangkut keadilan sosial.

Yogyakarta sebagai salah satu penjaga kebhinnekaan sampai saat ini masih dipandang sebagai salah satu kiblat pembudayaan Pancasila. Bukan saja dikarenakan hadirnya Universitas Gadjah Mada sebagai kampus kerakyatan (Pancasila). Akan tetapi juga nilai kePancasila-an yang sudah cukup mendarah daging di entitas sosial masyarakat Yogya. Satu hal yang menjadi bukti yakni adanya agenda ‘Resepsi Wong Cilikí’ yang diadakan oleh Samawi Institute untuk memperingati 73 tahun lahirnya Pancasila. Sebelumnya tepat pada tanggal 1 Juni Sekretariat Keistimewaan DIY bersama para pegiat Pancasila menggelar hajat dengan mengadakan konser kebangsaan bertajuk #PancasilaRumahKita.

Keberadaan para Pancasilaholic ini merupakan keniscayaan dalam wacana kebangsaan kita. Sudah sepatutnya keberadaan aktor Pancasilais ini terus direproduksi, tidak hanya pada aspek kuantitasnya, namun yang lebih penting adalah aspek kualitasnya. Tidak bisa dipungkiri, ketika berbicara mengenai Pancasila tidak sedikit di antara kita yang terjebak pada kerangka simbolik. Sehingga dalam praktiknya terlihat hanya akan mempolitisasi Pancasila demi kepentingan kelompoknya. Agenda ‘Resepsi Wong Cilik’yang dipelopori oleh Samawi Institute diharapkan mampu mengajak publik untuk memahami lebih dalam mengenai Pancasila sebagai konsensus bersama dan bukan sebagai alat politik.

Disinilah kesadaran publik untuk menjadikan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup menjadi penting. Terlebih lagi jika kita memahami bahwa Pancasila merupakan konsensus bersama dimana gagasan besar untuk membangun narasi peradaban bangsa dideskripsikan dengan indikator tercapainya tujuan bernegara yakni: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bagi mereka yang mendaku dirinya sebagai Pancasilaholic sudah tentu akan merasakan beban mental yang tidak ringan. Akan terngiang-ngiang dengan pesan seorang Soekarno yang mengatakan bahwa banyak orang yang mengakungaku paling Pancasilais namun perilakunya jauh dari Pancasila itu sendiri. Semoga para pegiat, pejuang, penjaga dan penguri-uri Pancasila yang lahir dari rahim kampus kerakyatan maupun kultur masyarakat Jawa mampu menjaga diri dari fitnah tersebut.

Dari Yogyakarta telah dimulai berbagai proyek ideologis, untuk menjadikan seluruh elemen masyarakat sebagai pribadi-pribadi yang Pancasilais atau Pancasilaholic. Tanpa kemudian merasa paling Pancasilais, karena karakter tersebut dapat terlihat dari cara berpikir, berbicara, dan berperilaku. Orang Jawa sangat mengenal betul istilah ajining raga saka busana, ajining dhiri saka lathi yang dapat dimaknai kepribadian seseorang sangat ditentukan dari bagaimana seseorang tersebut berbicara. Disinilah secara kultural masyarakat Jawa adalah pribadi-pribadi yang harusnya menjaga lisannya.

Pemahaman inilah yang harusnya menjadi pijakan atas pengamalan Pancasila. Karena Pancasila bukanlah simbol akan tetapi nilai yang perlu dihidupkan dalam pengejawantahannya.

(Agung SS Widodo MA. Peneliti sosial politik Pusat Studi Pancasila UGM dan TADPRD Kab Sleman. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 25 Juni 2018)

You may also like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *